Jumat, 18 September 2020

Dampak Ekologis Tumpahan Minyak Pertamina di teluk Balikpapan

 Dampak Ekologis Tumpahan Minyak Pertamina

di teluk Balikpapan

 

 

Pesut Mahakam yang mati akibat tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, KALTIM

 

Pada beberapa tahun lalu di 2018 terjadi tumpahan minyak mentah milik PT Pertamina di Teluk Balikpapan.  Tumpahan minyak ini membuat geger diseluruh wilayah Indonesia. Dari citra satelit pada 2 April 2018, area tercemar minyak seluas 120 kilometer persegi atau 12.000 hektare. Tiga hari kemudian, luasannya bertambah menjadi 200 kilometer atau 20.000 hektare.

Ketika itu, pipa penyalur minyak mentah dari Terminal Lawe-lawe di Penajam Paser Utara ke kilang Balikpapan, patah. Adapun pipa penyalur berdiameter 20 inci dengan ketebalan 12 milimeter tersebut berada di dasar laut dengan kedalaman 20-25 meter.

Ahli oseanografi Institut Pertanian Bogor, Alan F. Koropitan, mengatakan tumpahan minyak dalam jumlah besar itu bisa merusak ekosistem secara meluas dan berlangsung lama. “Akan mematikan ekosistem di perairan itu,” kata dia

 

Tumpahan Minyak Pertamina di Teluk Balikpapan Cemari 7.000 Hektar Area

 

Tumpahan minyak dalam jumlah banyak dan waktu yang lama akan merusak ekosistem secara meluas bahkan dapan mematikan ekosistem di perairan tersebut. Penyebab tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, berasal dari pipa bawah laut  terminal Lawe-lawe ke fasilitas refineery PT Pertamina, yang putus. Minyak mentahpun bocor dan tumpah mengotori area diperkirakan seluas 7.000 hektar,  dengan panjang pantai terdampak di sisi Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara mencapai sekitar 60 kilometer. Kejadian ini juga menewaskan lima orang, dan merusak mangrove serta biota laut. Masyarakatpun mengeluhkan mual dan pusing karena bau minyak menyengat. Demikian antara lain isi laporan tim penanganan kejadian tumpahan minyak di Perairan Teluk Balikpapan, dan Penajam Pasir Utara.

Dalam laporan tim penanganan itu menyebutkan, dari fakta lapangan ditemukan ekosistem terdampak berupa mangrove sekitar 34 hektar di Kelurahan Kariangau, 6.000 mangrove di Kampung Atas Air Margasari, 2.000 bibit mangrove warga Kampung Atas Air Margasari dan kepiting mati di Pantai Banua Patra. Warga di area pemukiman yang banyak tumpahan minyak sudah rasakan mual dan pusing.

Krisis air bersih yang menyebabkan keseimbangan ekosistem akan terganggu

Air yang ada dikawasan teluk Balikpapan menjadi hitam akibat tumpahan minyak dari kebocoran pipa Pertamina. Hal pertama ketika sumber kehidupan yaitu air yang terkena tumpahan minyak maka hal yang terjadi adalah krisis air bersih. sifat minyak yang sulit menyatu dengan air membuat minyak yang mengapung ini terlihat berwarna hitam. Hal ini sangat berpotensi mengakibatkan terganggunya organisme yang berada pada permukaan perairan. Minyak memiliki massa yang cukup berat sehingga tidak bisa bergabung dengan air. Sehingga butuh zat kimia untuk memisahkan, hal ini akan menjadi perdebatan karena zat kimia tersebut untuk pembersihan akan mengakibatkan efek lain yang akan ditimbulkan, hal ini perlu dipertimbangkan lagi.  

 

Gambar perairan menghitam akibat tumpahan minyak

 

Dalam penanganan tumpahan minyak, menurut berita di CNN Indonesia.com  Sciencing mencatat biaya keseluruhan dan tantangan untuk membersihkan tumpahan minyak sangat besar. Sebab tumpahan minyak itu dapat terjadi di mana saja misal di lautan atau dekat daratan. Biaya yang dikeluarkan pun akan lebih mahal ketika lokasi tumpahan minyak menyebar ke lokasi lainnya. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk mengurangi sebaran minyak adalah pengenalan mikroorganisme.

Metode itu dapat dilakukan untuk menggiring minyak ke permukaan dan berubah menjadi zat yang hampir mirip seperti gel. Namun, kelemahan dari metode ini adalah sejumlah bakteri diciptakan untuk memecah hidrokarbon. Saat sebagian besar tumpahan minyak dipecah, bakteri pindah ke bahan lain yang mengandung hidrokarbon. Selain itu metode pengenalan mikroorganisme juga dapat menyebabkan polusi udara.

Kawasan perairan Balikpapan terpapar Limbah B3

Paparan limbah B3 dikhawatirkan  terhadap  ekosistem yang ada perairan di teluk Balikpapan. Tidak menutup kemungkinan ikan-ikan yang ada disana juga terpapar limbah B3 tersebut. Menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan, merusak lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

 

Gambar kawasan perairan tercemar limbah B3

 

Sedangkan menurut Wikipedia Bahan Berbahaya dan Beracun atau kerap disingkat B3 adalah zat atau bahan-bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan atau kelangsungan hidup manusia, makhluk lain, dan atau lingkungan hidup pada umumnya. Karena sifat-sifatnya itu, bahan berbahaya dan beracun serta limbahnya memerlukan penanganan yang khusus. Selanjutnya, menurut California Department of Toxic Substance Control, limbah B3 didefinisikan sebagai limbah dengan karakteristik tertentu, yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.Dari beberapa sumber tersebut, secara sederhana Limbah B3 adalah limbah yang dapat merusak kelangsungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya.

Tanaman  bakau / mangrove  tercemar tumpahan minyak.

Sementara paparan minyak juga berpotensi terhadap keberlangsungan hidup 17.000 ha manggrove. Adapun lima kawasan Padang Lamun di teluk Balikpapan terancam mati, dan empat jenis mamalia dilindungi terpaksa menjauh dari habitat, yaitu pesut, lumba-lumba hidung botol, lumba-lumba tanpa sirip belakang dan dugong.

 

Gambar Tanaman bakau tercemar tumpahan minyak

Alan berharap pemerintah dan Pertamina bisa secepatnya membersihkan perairan tersebut dari minyak. Sebab, minyak yang memiliki kepadatan tinggi itu terus menutupi permukaan perairan dan menghalangi sinar matahari, sehingga proses fotosintesis bisa terganggu. Akibatnya, dalam jangka panjang, ekosistem di wilayah tersebut bisa mati.

Potensi pencemaran minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove, Ihsan memaparkan minyak tersebut berpengaruh terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2. "Di mana akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang."

Jika minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut. Tumpahan minyak, sebut dia, juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi dengan hutan mangrove seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya.

Senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi berupa benzene, touleuna, ethylbenzen, dan isomer xylena, dikenal sebagai BTEX, merupakan komponen utama dalam minyak bumi, bersifat mutagenic dan karsinogenik pada manusia. “Senyawa ini bersifat rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun didarat, sehingga hal ini akan mengalami proses biomagnetion pada ikan ataupun pada biota laut lain.”

Bila senyawa aromatic tersebut masuk ke dalam darah, akan diserap oleh jaringan lemak dan akan mengalami oksidasi dalam hati membentuk phenol. Kemudian pada proses berikutnya terjadi reaksi konjugasi membentuk senyawa glucuride yang larut dalam air, kemudian masuk ke ginjal.

Dengan begitu banyaknya potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa tumpahnya minyak di Teluk Balikpapan yang begitu banyak menimbulkan keruskan ekositem pesisir serta lambatnya penanganan dari pihak terkait. Pihaknya berharap untuk menuntaskan permasalahan ini dan meminta pertanggung jawaban atas kerusakan yang telah di timbulkan. "Kembalikan ekosistem laut kami yang biru bukan yang hitam."

 

5 kawasan padang lamun di Teluk Balikpapan terancam mati.

Adapun lima kawasan Padang Lamun di teluk Balikpapan terancam mati, dan empat jenis mamalia dilindungi terpaksa menjauh dari habitat, yaitu pesut, lumba-lumba hidung botol, lumba-lumba tanpa sirip belakang dan dugong.

 

Gambar padang lamun yang rusak akibat tumpahan minyak

 

Padang lamun adalah ekosistem khas di laut dangkal pada wilayah perairan hangat dengan dasar pasir dan didominasi oleh tumbuhan lamun, sekelompok tumbuhan anggota bangsa Alismatales yang beradaptasi di air asin. Padang lamun biasanya hanya dapat terbentuk pada bagian perairan laut yang dangkal (kurang dari tiga meter) namun dasarnya tidak pernah terbuka dari perairan (selalu tergenang). Ia dapat dianggap sebagai bagian dari ekosistem mangrove, walaupun padang lamun dapat berdiri sendiri. Padang lamun juga dapat dilihat sebagai ekosistem antara ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang.  

 

Penurunan jumlah pesut Mahakam  yang ditandai dengan seekor pesut mati akibat tumpahan minyak .

Pesut adalah binatang endemic yang ada di kalimatan timur . Pesut mahakam (Latin:Orcaella brevirostris) adalah sejenis hewan mamalia yang sering disebut lumba-lumba air tawar yang berstatus terancam. Pesut ini dinamakan Pesut mahakam karena banyak ditemukan di perairan Sungai Mahakam, tetapi kalangan peneliti barat lebih mengenal hewan ini dengan nama Irrawaddy Dolphin. Berdasarkan data tahun 2018, populasi hewan ini tinggal 80 ekor saja di perairan sungai-sungai di Kalimantan dan menempati urutan tertinggi dari daftar satwa Indonesia yang terancam punah.

 

Gambar pesut Mahakam yang mati akibat pencemaran air dari tumpahan minyak

Di Kalimantan, populasi hewan ini terus menyusut akibat habitatnya terganggu, terutama makin sibuknya lalu-lintas perairan Sungai Mahakam, serta tingginya tingkat erosi dan pendangkalan sungai akibat pengelolaan hutan di sekitarnya. Kelestarian Pesut mahakam juga diperkirakan terancam akibat terbatasnya bahan makanan berupa udang dan ikan, karena harus bersaing dengan para nelayan di sepanjang Sungai Mahakam.

Dalam kasus tumpahan minyak yang terjadi di Teluk Balikpapan menurut berita di CNN dalam video youtube  https://www.youtube.com/watch?v=pljyuSRGxLw satu ekor pesut mati dapat menunjukkan berapa banyak kemungkinan binatang serupa yang keracunan, karena pada saaat dilakukan autopsy terhadap pesut ini ditemukan cairan minyak yang ada di  organ tubuh pesut tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tumpahan minyak sangat merugikan bahkan membunuh makhluk hidup langka serta biota laut lain yang ada di dalam perairan teluk Balikpapan.

Tumpahan minyak mengakibatkan Plankton musnah

Berkurangnya intensistas cahaya secara drastis akan menghambat fitoplankton untuk berfotosintesis, dan dapat memutus rantai makanan pada daerah tersebut. “Maka, secara langsung akan mengurangi laju produktivitas primer pada daerah tersebut karena terhambatnya pertumbuhan fitoplankton,”

Sementara pada minyak yang tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai, akan mengganggu organisme interstitial maupun organisme intertidal.

Organisme disebutkan terakhir hidup berada pada daerah pasang surut. Efeknya, adalah ketika minyak tersebut sampai ke pada bibir pantai, maka organisme yang rentan terhadap minyak seperti kepiting, amenon, moluska dan lainnya akan mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan dapat mengalami kematian. Hal ini tampak jelas terlihat saat ini di sepanjang pantai Balikpapan.

Adanya lapisan minyak dijelaskan juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob.

Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengarungi pertumbuhan rumput laut, lamun dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan ada sedikitnya 18 temuan kerugian akibat tumpahnya minyak mentah di Teluk Balikpapan. Peristiwa tersebut telah mengakibatkan tewasnya lima nelayan.

Kerugian lain adalah rusaknya ekosistem di pesisir Balikpapan hingga radius 80 kilometer, berpindahnya spesies mamalia seperti pesut akibat terkena ceceran minyak, hingga hilangnya mata pencarian ratusan nelayan.

Pradarma mengingatkan, kejadian ini bukan yang pertama. Peristiwa yang sama juga pernah terjadi pada 2004 dan 2017. Karena itu, dia mendesak supaya keamanan pipa minyak Pertamina diaudit.

“Kami tidak pernah tahu bagaimana proses audit internal mengenai keamanan dari manajemen pengelolaan pipa minyak Pertamina,” kata dia.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sudah meminta Pertamina membantu menangani dampak kerusakan ekosistem di lokasi tersebut. Selain itu, upaya penegakan hukum akan dilakukan.

“KLHK akan memeriksa hukum perdata dan sanksi administratif, serta mediasi masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Manajer Komunikasi Pertamina wilayah Kalimantan, Yudi Nugraha, belum bersedia berkomentar banyak soal tumpahan minyak. Ia baru memastikan bahwa koordinasi antara Pertamina dan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur sudah dilakukan.

“Direktorat reserse kriminal telah mendatangkan tim laboratorium forensik untuk menyelidiki detail pipa dan minyak untuk menyelidiki apa yang menjadi penyebab pipa tersebut terseret hingga putus,” kata dia.

Penanggulangan Tumpahan Minyak

Pasca terjadinya kecelakaan tumpahan minyak, pertama, yang perlu dilakukan adalah mengetahui secara cepat dan akurat wilayah persebarannya, baik secara visual langsung, maupun hasil penginderaan jauh (remote sensing). Berbagai cara penanggulangan dilakukan seperti in-situ burning, penyisihan secara mekanis, teknik bioremediasi, penggunaan sorbent, dan penggunaan bahan kimia dispersan, serta metode lainnya tergantung kasus yang terjadi.

Untuk Teknik Bioremediasi, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam bioremediasi tumpahan minyak: (1) bioaugmentasi, di mana mikroorganisme pengurai ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada, dan (2) biostimulasi, di mana pertumbuhan bakteri pengurai hidrokarbon asli dirangsang dengan cara menambahkan nutrien dan atau mengubah habitatnya.

Hingga sekarang teknologi itu terus dikembangkan termasuk penggunaan bakteri. Indonesia perlu mengoptimalkan bidang ini menimbang laut Indonesia memiliki berbagai macam jenis bakteri yang dapat mendegradasi minyak, salah satunya bakteri hidrokarbonoklastik Pseudomonas Sp yang mampu mendegradasi berbagai jenis hidrokarbon.

Upaya yang lebih strategis adalah tindakan preventif untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan tumpahan minyak itu sendiri. Rendahnya kesadaran akan aspek lingkungan di Indonesia, baik secara individu, kelompok, maupun institusi, menjadi restriksi dari implementasi upaya pencegahan dini. Upaya penyadaran lingkungan ini bisa melalui pendidikan publik, hingga pemberian sanksi yang tegas apabila terjadi pelanggaran atas pencemaran lingkungan.

Hal ini mengacu pada sistem existing bahwa Indonesia telah meratifikasi Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage (CLC 1969), melalui Keppres No. 18 Tahun 1978.  Tujuan dari CLC 1969 adalah untuk menetapkan suatu sistem yang seragam terkait kompensasi karena tumpahan minyak di laut. Konvensi ini memungkinkan korban untuk menuntut kompensasi kepada pemilik kapal, sehingga sering disebut bahwa konvensi ini menganut chanelling of liability (kanalisasi pertanggung-jawaban), yaitu pertanggung-jawaban dibebankan kepada pihak tertentu, dalam hal ini pemilik kapal.

Konvensi ini pun mencoba untuk menetapkan suatu keseimbangan antara kepentingan para korban dan kepentingan pemilik kapal yang telah menyebabkan kerugian.  Karena itulah, maka di satu pihak, hak para korban untuk menuntut kompensasi terjamin dengan diberlakukannya strict liability, tapi di sisi lain, dengan adanya pengecualian-pengecualian tertentu, maka kepentingan para pemilik kapal pun terlindungi. Melalui konvensi inilah strict liability masuk ke Indonesia, dan kemudian diadopsi dalam undang-undang lingkungan hidup Indonesia sejak tahun 1982.

Selain itu, dalam kaitannya dengan pencegahan dini, setiap perusahaan migas Indonesia juga harus mencanangkan program Zero Spill Operation, yaitu dengan menetapkan target khusus yang disepakati untuk mencapai zero spill operation. Untuk mencapai target tersebut, perusahaan perlu memiliki aturan wajib dan rigid untuk mencegah terjadinya kebocoran atau tumpahan minyak, dan konsisten menerapkan aturan tersebut.

Kedua, mengetahui luasnya lingkup peristiwa tumpahan minyak yang menyangkut multisektor, mulai dari pangan, sosial, habitat, pariwisata, kesehatan, dll., maka diperlukan keterlibatan berbagai instansi, koordinasi di  antara instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, dan masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaannya, diperlukan keterlibatan stakeholders terkait yang berada di bawah manajemen pemerintah untuk bersama-sama melakukan penanggulangan yang terpadu dan komprehensif. Tinjauan ulang konsesi atau kegiatan migas juga perlu diperketat untuk mengafirmasi tuntutan hukum atas pihak yang bertanggung-jawab dalam kecelakaan tumpahan minyak.

Ketiga, perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk meneliti dan menanggulangi pencemaran minyak. Dampak pencemaran yang sedemikian luas, termasuk untuk organisme renik sudah semestinya dikalkulasi secara komprehensif, sehingga mampu memprediksikan dampaknya dalam jangka panjang. Terlebih, persoalan pencemaran minyak di laut dan pantai Indonesia, hingga kini belum menjadi persolan utama pencemaran lingkungan hidup. Barangkali, perlu dibuat specific executing agency sebagai satuan badan atau tim khusus yang secara spesifik mengatasi permasalahan ini di tiap-tiap pantai yang berpotensi terjadi tumpahan minyak.

(WARJUNI)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar